SPOTSKETSA – Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wenseslaus Manggut meminta Tim Kajian Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak hanya fokus pada konten dalam menyehatkan dunia digital. Menurutnya, platform digital juga perlu diatur dengan ketat.
Hal itu disampaikan Wens saat menjadi narasumber dalam Focus Group Discussion (FGD) Kajian UU ITE yang digelar virtual, Rabu (10/3). Menurutnya, platform digital seharusnya turut bertanggung jawab mengawasi konten bermuatan negatif. Alasannya, hampir 90 persen konten media sosial distribusinya dikuasai oleh platform digital.
“Maka kebencian sudah menjelma menjadi produk yang laku dijual, karena yang menonton banyak, engagement kebencian dan hoax itu tinggi sekali. Begitu ada orang yang buat video yang nuansanya kebencian, provokatif, cepat sekali share-nya, orang yang menonton semakin banyak dan kalau ada iklan yang masuk maka dia menjelma menjadi produk,” kata Wens.
“Bayangkan kalau yang kita atur hanya orang yang bikin videonya tanpa mengatur platfomnya. Yang bikin video kita tangkap, platformnya tetap untung karena videonya tetap ditonton oleh ribuan orang,” tambahnya.
Sementara itu, perwakilan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito Madrim, yang juga hadir dalam FGD, berharap pemerintah memiliki komitmen dan serius dalam merevisi UU ITE. Pasalnya dalam tiga tahun terakhir AJI mencatat 25 kasus kriminalisasi jurnalis yang berkaitan dengan UU ITE.
“Kalau berkaca dari kasus-kasus yang dialami teman-teman jurnalis, ini sudah sangat mengganggu kerja jurnalisme. Padahal dalam melakukan kerja jurnalisme sudah dilindungi undang-undang,” ujar Sasmito.
Sementara itu, anggota Dewan Pers, Imam Wahyudi, menilai asas dan tujuan dari UU ITE sangat mulia, bahkan sejalan dengan prinsip jurnalisme yaitu untuk kemaslahatan publik. Namun dalam perjalanannya, UU ITE justru menjadi momok yang menakutkan. Dia berharap agar UU ITE tak hanya direvisi namun juga tidak lagi mengancam kebebasan pers.
“Pasal 27 UU ITE adalah monster yang kemudian selama ini bukan hanya menghantui, namun seperti dementor di film Harry Potter, benar-benar mengisap, bukan hanya ke penjara namun juga nyali mereka, karena ada Pasal 27 ayat (3) dan juga Pasal 28 dan Pasal 40 soal ancamannya,” sebut Imam.
Tak jauh berbeda, Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin juga mengatakan, meski kebebasan pers menjadi amanat konstitusi di mana keberadaannya diakui dan dijamin undang-undang, namun pada praktiknya masih banyak ditemukan regulasi yang semangatnya bertentangan dengan UU Pers, salah satunya UU ITE.
“UU ITE dianggap menjadi salah satu penghambat kebebasan pers, meskipun UU ITE diklaim tidak menyasar pers, namun nyatanya terdapat banyak kasus wartawan yang dijerat dengan UU ITE bahkan hingga divonis bersalah oleh hakim,” tegas Ade.
Menanggapi masukan dari berbagai narasumber, Ketua Tim Perumus UU ITE Sugeng Purnomo mengatakan, pers memiliki peran penting di era demokrasi. Untuk itu, masukan dan pemikiran insan dan asosiasi pers sangat diperlukan tim kajian untuk memperkaya informasi dan pandangan.
“Hal yang sangat menarik adalah bahwa tidak bisa dimungkiri di alam demokrasi peran dari teman-teman media sangat berguna dalam memberikan informasi,” kata Sugeng.
“Kita menghadirkan para narasumber untuk kita dengar, apa yang menjadi pemikiran para narasumber untuk kita catat dan nanti kita diskusikan. Semoga tim dapat menyelesaikan tugas dengan baik,” tambah Sugeng mengakhiri sesi FGD bersama asosiasi pers ini.
Hingga saat ini, Tim Kajian UU ITE masih membuka masukan dan saran dari masyarakat yang belum sempat diundang menjadi narasumber. Bagi masyarakat ingin memberi masukan kepada tim bisa melalui email: KajianUUITE@polkam.go.id.
Sumber: merdeka.com