• Tentang Kami
  • Redaksi
Spot Sketsa
No Result
View All Result
Wednesday, March 3, 2021
  • Login
  • Home
  • Nasional
  • Internasional
  • Daerah
  • Politik
  • Hukum
  • Ekonomi
  • Selisik
  • Kolumnis
  • Lifestyle
    • Hiburan
      • Budaya
      • Berita Film
      • Gosip
      • Musik
      • Seleb
    • Kesehatan
    • Kuliner
    • Pariwisata
  • Lainnya
    • Figur
    • Sosial
    • Pendidikan
    • Peristiwa
    • Opini
    • Teknologi
    • Olah Raga
    • Otomotif
    • Galeri Foto
    • Galeri Video
    • Resensi Buku
    • Podcast
    • Jejak Misteri
Spot Sketsa
  • Home
  • Nasional
  • Internasional
  • Daerah
  • Politik
  • Hukum
  • Ekonomi
  • Selisik
  • Kolumnis
  • Lifestyle
    • Hiburan
      • Budaya
      • Berita Film
      • Gosip
      • Musik
      • Seleb
    • Kesehatan
    • Kuliner
    • Pariwisata
  • Lainnya
    • Figur
    • Sosial
    • Pendidikan
    • Peristiwa
    • Opini
    • Teknologi
    • Olah Raga
    • Otomotif
    • Galeri Foto
    • Galeri Video
    • Resensi Buku
    • Podcast
    • Jejak Misteri
No Result
View All Result
Spot Sketsa
No Result
View All Result
Home Opini

AKHIR CERITA: REVISI UU PEMILU DI PRESIDEN JOKOWI

by Efriza
February 16, 2021
in Opini
Reading Time: 5 min
0
AKHIR CERITA: REVISI UU PEMILU DI PRESIDEN JOKOWI
0
SHARES
66
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh: Efriza, Direktur Eksekutif Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan (PSKP)

Revisi UU Pemilu yang sedang dilakukan di Gedung Senayan telah memasuki periode meredup. Dari yang awalnya kencang terdengar hingga sayup-sayup terdengar. Perubahan semangat ini terjadi ketikan membahas rencana jadwal Pilkada. Awalnya, menguat opsi mengatur kembali jadwal pemilu serentak. Revisi UU Pemilu rencananya mengupayakan normalisasi Pilkada. Pilkada kembali mengikuti siklus lima tahunan, artinya pilkada akan diselenggarakan pada 2022, 2023, dan 2025, namun ujung akhirnya, tahun 2027 terjadi Pemilu Serentak berupa Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah.

Sayangnya, rencana ini ditolak pemerintah. Pemerintah bersikeras bahwa karena undang-undang itu masih mengatur mengenai rangkaian Pemilu Indonesia hingga 2024. Sehingga tidak etis jika undang-undang itu direvisi. Sebab sudah disepakati, belum dilaksanakan pula, tak mungkin tiba-tiba dievaluasi, apalagi direvisi, seperti itulah argumentasi pemerintah yang dapat kita telusuri beritanya.

Sayangnya, pembahasan revisi UU Pemilu ini kurang mengedepankan evaluasi atas Pemilu Serentak Nasional 2019 lalu, yang terjadi hanya kepentingan pragmatis partai-partai. Jika Pemilu Serentak 2024 dilakukan, maka kans dari nama-nama calon populer yang sekarang menjabat kepala daerah akan meredup untuk didorong dan diajukan dalam Pemilu Presiden 2024. Sebab, mereka ketika Pemilu Serentak 2024 akan dilaksanakan telah menjadi “pengangguran politik,” karena tidak lagi menjabat sebagai kepala daerah.

Sebut saja nama-nama seperti Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, dan Khoffiah Indaparawansa. Ketika Pemilu Serentak 2024 akan dilaksanakan, mereka tak lagi menjabat sebagai Gubernur. Ini menunjukkan popularitasnya sulit untuk dibangun berdasarkan kerja nyata sebagai Gubernur. Kesempatan untuk melakukan konsolidasi sambil bekerja sebagai gubernur, akan sirna. Sedangkan, beban biaya mereka membangun popularitas diri tentu akan lebih mahal dibanding ketika masih menjabat sebagai gubernur.

Tentu saja, ini akan berbeda kans yang dimiliki oleh pejabat-pejabat sebagai menteri di era Pemerintahan Jokowi saat ini. Sebut saja, seperti Tri Rismaharini, Prabowo Subianto, Sandiaga Uno, Airlangga Hartarto, Moeldoko, Erick Thohir, dan Yoqut Cholil Qomas. Mereka akan memiliki kesempatan besar untuk melakukan konsolidasi sambil bekerja sebagai menteri, dengan catatan tak terjadi reshuffle lanjutan. Meski hasil akhir mengenai siapa yang diusung sebagai calon presiden dan wakil presiden, ditentukan oleh partai politik dan koalisi partai politik.

Tetapi jelas bahwa jika Pemilu Serentak dilaksanakan pada tahun 2024, beberapa nama calon potensial mantan pejabat daerah memiliki kans yang cenderung menipis. Sehingga patut diduga, nama-nama yang akan muncul dipermukaan adalah ketua-ketua umum partai, dan penjabat menteri. Sehingga, mengesankan “mengeliminir”kans pejabat daerah, dan “memajukan” nama-nama calon alternatif dari kabinet.

Evaluasi Pemilu Serentak 2019

Dibalik revisi UU Pemilu, ada pembahasan yang tak terdengar keras yakni mengenai evaluasi Pemilu Serentak 2019 lalu. Pemilu 2019 lalu yang dilakukan serentak, dapat dianggap sebagai pemilu borongan lima kotak suara. Pemilihan untuk pasangan calon presiden dan wakil presiden, pemilihan untuk anggota DPR, untuk anggota DPD, untuk DPRD Provinsi dan untuk DPRD Kabupaten/Kota. Pemilu ini begitu kompleks, sehingga banyak memakan korban jiwa, dengan rincian sebanyak 469 orang penyelenggara pemilu meninggal dunia dan 4.6062 orang yang sakit setelah menjalani tugas dalam penyelenggaraan pemilu tersebut.

Berdasarkan realitas itu, wajar adanya keinginan untuk melakukan normalisasi pilkada menjadi 2022 dan 2023. Ini menunjukkan adanya dasar dari evaluasi, sehingga revisi undang-undang pemilu diharapkan dilakukan. Bangunan dasar yang objektif juga dipaparkan, seperti kekhawatiran beririsan antara penyelenggaraan pemilu nasional dan pilkada jika di 2024, mengakibatkan terjadi permasalahan baru saat sebelum dan sesudah Pemilu Serentak dilakukan.

Jadi atas dasar evaluasi pemilu nasional serentak 2019 lalu, yang banyak menimbulkan korban jiwa, maka didoronglah upaya untuk melakukan normalisasi pilkada. Di sisi lain, tentu saja, ada keinginan bersama untuk merevisi sebuah kesepakatan sebelumnya, agar pemilu nasional dan pilkada diserentakkan terjadi pada 2027 bukan 2024.

Tetapi apakah usulan ini dapat diterima? Usulan ini cenderung ditolak. Meski dianggap DPR era reformasi ini cenderung legislative heavy. Tetapi, DPR tak pernah bisa mendorong pemerintah untuk merubah keputusannya. Pemerintah, era Presiden Joko Widodo (Jokowi) memiliki karakter koppig (keras kepala, teguh pendirian). Kita bisa belajar dari kasus revisi UU KPK, yang penentuannya adalah di tangan Presiden Jokowi. DPR terkesan tak punya power, tak bisa membujuk tatkala pemerintah emoh.

Awalnya bahwa 9 partai politik di DPR bersuara kencang untuk melakukan revisi UU Pemilu. Lalu, sikap tegas dilakukan PAN yang menolak revisi UU Pemilu, kemudian dilanjutkan PPP. Tetapi kedua partai ini menolak ketika pembahasan memperluas kekuasaan partai-partai besar semata. Saat itu, belum dikemukakannya sikap pemerintah.

Dalam perkembangannya, malah banyak partai-partai yang menunjukkan penolakan revisi UU Pemilu. Tetapi dengan asumsi titik tekan yakni menolak normalisasi Pilkada. Kembali kepada kesepakatan sebelumnya penyelenggaraan Pemilu Serentak pada tahun 2024. Selanjutnya, sempat tersisa tiga Partai yakni PKS, Partai Nasdem, dan Partai Demokrat, yang memperlihatkan mendukung revisi UU Pemilu dan mendukung normalisasi pilkada. Sebelum akhirnya, Partai Nasdem, beberapa minggu lalu memutuskan menolak revisi UU Pemilu.

Tak perlu repot memetakan sikap partai-partai di parlemen, hasilnya tetap bisa diketahui, revisi UU Pemilu tak akan terjadi jika pemerintah masih keras pendirian. Apalagi jelas, merujuk rumusan UUD Negara Republik Indonesia 1945 pada Pasal 20 ayat (2) yang menjelaskan mengenai bahwa setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Ini menunjukkan tatkala pemerintah bersikukuh maka rencana revisi UU Pemilu, menjadi tak bermakna.

Meski, revisi UU Pemilu saat ini merupakan inisiasi DPR dan proses revisi UU Pemilu sudah dalam badan legislasi DPR. Tetapi kecenderungan terbesar adalah tinggal menyelesaikan proses administrasi dari penolakan partai-partai tersebut, berupa pelaksanaan rapat bersama pemerintah, untuk mengeluarkan rencana Revisi UU Pemilu tersebut dari program legislasi nasional (Prolegnas). Apalagi jelas bahwa proglegnas belum disahkan di Paripurna saat ini, kesempatan melakukan itu sangat terbuka.

Tanda-tanda tak akan terjadinya revisi UU Pemilu semakin terlihat, ketika Presiden Jokowi melakukan pertemuan dengan mengumpulkan elite-elite partai politik pendukung pemerintah yang patut diduga untuk menyamakan persepsi dengan pemerintah. Realisasi persamaan persepsi terlihat dari perubahan sikap Partai Nasdem yang akhirnya memutuskan menolak revisi UU Pemilu.

Saran Untuk Pemerintah

Pemerintah telah menolak Revisi UU Pemilu dengan membangun argumentasi ingin menyepakati rumusan yang telah disepakati bersama oleh DPR dan Pemerintah. Ketika tak ada revisi UU Pemilu, menunjukkan bahwa upaya normalisasi Pilkada juga tak akan terjadi.

Maka penulis mengajukan saran, bahwa pemerintah harus mengupayakan hadirnya aturan-aturan dalam keputusan dan kebijakan yang bisa menunjukkan pilihan pemerintah telah matang. Sehingga dapat memprediksi beberapa permasalahan yang dapat hadir disebabkan oleh pemilu nasional dan pilkada dilakukan tetap pada tahun 2024.

Pertama, mengupayakan persiapan kedua kalender proses penyelenggaraan pemilu serentak yakni Pemilu Nasional dan Pilkada Serentak tahun 2024, dengan cermat dan tepat.

Kedua, menjamin proses dari pemilu yang tidak lagi menimbulkan korban jiwa dari penyelenggara pemilu seperti Pemilu 2019 lalu. Sebab, konsekuensi pemilu yang berhimpitan antara pemilu nasional dan pilkada, selain kecenderungan bahwa pemilu lima kotak masih dilanjutkan.

Ketiga, memastikan bahwa masyarakat tidak mengalami kejenuhan dalam memilih,  disebabkan oleh waktunya yang berhimpitan tersebut.

Keempat, mengantisipasi proses penyelenggaraan pemilu dari gangguan kekerasan dan/atau kekacauan dalam pemilu. Kekhawatiran ini didasari oleh isu identitas cenderung masih menjadi jualan pasangan calon. Apalagi berkaca dari situasi mancanegara yang sedang memperlihatkan demokrasi terselimuti awan gelap.

Dan, kelima, pemerintah harus benar-benar serius merancang pengaturan yang menegaskan tidak terjadinya kekosongan jabatan di pemerintahan daerah. Sekaligus, memastikan penjabat sementara tersebut memiliki kompetensi untuk ditugaskan sementara sebagai kepala daerah. Jangan malah menimbulkan kekisruhan lainnya.

Proses Pemilu Serentak berupa Pemilu Nasional dan Pilkada yang tetap dikehendaki pemerintah dilakukan pada 2024 nanti. Sejatinya harus membawa hasil yang benar-benar bermanfaat jangan malah menimbulkan permasalahan baru, akibat sikap koppig dari pemimpin negara ini semata, tanpa disertai perhitungan dan pembuatan keputusan yang baik, cermat dan tepat.

RelatedPosts

Reshuffle, Sulit Menilai Kinerja Kabinet di Masa Pandemi
Opini

Reshuffle, Sulit Menilai Kinerja Kabinet di Masa Pandemi

December 26, 2020
3
Hilangnya Esensi Demokrasi
Opini

Hilangnya Esensi Demokrasi

December 26, 2020
5

Search

No Result
View All Result

Categories

Quick Links

  • Tentang Kami
  • Redaksi
Visitor

Dapoer Kreatif Spotsktesa

Jl. Cisokan I No. 5  Kel. Abadijaya, Kec. Sukmajaya, Depok, Jawa Barat, 16417

Spotsketsa adalah Media Kreatif yang diterbitkan oleh Yayasan Karya Kemanusiaan dan Pembangunan dengan afiliasi Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan (PSKP) berdasarkan Keputusan Kemkumham Nomor AHU-0003472.AH.01.12 Tahun 2020

Spot Sketsa

Kontak

Email: spotsketsa1@gmail.com

Facebook :  Spotsketsa

Twitter : Spotketsa

© 2021 Spotsketsa

No Result
View All Result
  • Home
  • Nasional
  • Internasional
  • Daerah
  • Politik
  • Hukum
  • Ekonomi
  • Selisik
  • Kolumnis
  • Lifestyle
    • Hiburan
      • Budaya
      • Berita Film
      • Gosip
      • Musik
      • Seleb
    • Kesehatan
    • Kuliner
    • Pariwisata
  • Lainnya
    • Figur
    • Sosial
    • Pendidikan
    • Peristiwa
    • Opini
    • Teknologi
    • Olah Raga
    • Otomotif
    • Galeri Foto
    • Galeri Video
    • Resensi Buku
    • Podcast
    • Jejak Misteri

© 2021 Spotsketsa

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In